Masuk akalkah hajatan literasi yang diselenggarakan oleh pemerintah (provinsi), melibatkan banyak pihak, tetapi penghargaan untuk penulis terpilih begitu minimnya?
Kuikuti kompetisi ini karena aku tertarik mencoba sesuatu yang baru. Setelah agak mblenger menulis buku untuk anak, menulis esai memberiku penyegaran.
Sesuai namanya, jenis tulisan esai, ya referensiku esai macam Goenawan Mohamad, Mohamad Sobary, Emha Ainun Nadjib, dan lainnya. Sudah kulahap tulisan mereka sejak aku masih di sekolah menengah.
Sebagai satu dari 15 penulis terpilih, tentu saja aku cukup bangga. Aku diundang mengikuti lokakarya pada Sabtu, 10 Agustus 2024, di Perpustakaan Provinsi Jawa Timur, yang dulu jadi tempat mainku, antara tahun 2005 sampai sekitar 2011.
(Btw, selain aku, dua finalis ILPN ini adalah temanku sesama penulis terpilih dalam proyek buku cerita anak dwibahasa, Balai Bahasa Jatim, 2024. Imawati Zanifah dan Mega Anindyawati. Tahun ini adalah tahun keduaku lolos seleksi BBJT bersama Mega, sedangkan Ima, aku baru kenal di tahun ini. Jadi, kami bertiga serasa reuni di gelaran ILPN ini.)
Pak Yusron dan tim |
Rupanya, ketua tim juri adalah adik Cak Nun, Pak Yusron Aminulloh. Mbak Tias Tatanka yang memberitahu aku, bahwa Pak Yusron adik Cak Nun.
Rasa banggaku (bukan sombong lho ya..) karena jumlah naskah yang masuk di luar dugaan panitia dan juri--mencapai 300an naskah. Sementara di provinsi-provinsi lain, kompetisi yang sama hanya diikuti rata-rata 50 naskah masuk.
Kepala Perpusnas Press menyapa |
Ketika aku tanya Mbak Tias (istri Duta Baca Gola Gong), yang jadi ketua dewan juri kompetisi ILPN 2024 untuk Provinsi Banten, ya jawabannya sama dengan yang diceritakan Pak Yusron. Sekitar 50 naskah masuk.
Materi lokakarya menarik sekali. Pak Yusron memperkenalkan anggota timnya, dari Yayasan Iqro Semesta.
Pada masa-masa revisi naskah yang ditunggu untuk menentukan juara, aku chat WhatsApp dengan Mbak Tias. 'Kejar juara 1-nya, Lia,' kata Mbak Tias menyemangati aku.
Aku pun berusaha memperbaiki tulisanku. Kami semua diberi waktu sepekan.
Satu kalimat yang tidak kulupakan saat lokakarya itu, yang diucapkan tidak hanya oleh Pak Yusron, tetapi juga pembicara lainnya, adalah, 'Bagi yang nanti tidak menjadi juara 1, 2, dan 3, jangan berkecil hati. Insyaallah, manfaat kegiatan ini lebih besar daripada sekadar materi.'
Dalam hati aku tersenyum, sekaligus teringat komentar seorang teman saat membaca pengumuman kompetisi ini. 'Hadiahnya melas amat,' kata temanku itu.
Ya, begitulah. Yang dapat hadiah uang hanya juara utama. Dua belas finalis lainnya tidak. Padahal kukira, yah.. setidaknya kedua belas finalis dapat uang lelah setelah revisi naskah, lima ratus ribu kek π€ͺ
Setelah masa revisi naskah ditutup, komunikasi masih terjalin antara panitia, juri, dan finalis dalam grup WhatsApp. Pak Tom, salah satu juri, membagikan tautan situs milik Yayasan Iqro Semesta (?), untuk naskah para finalis yang katanya akan dimuat secara bergilir.
Kata Pak Tom, link naskah itu tidak menentukan juara, hanya kebetulan naskah yang terbaca pertama secara acak dan tulisannya bagus.
Benarkah secara acak? π
Tulisan pertama yang dibagikan link-nya itu karya Bu Yoni Astuti. Wow, tulisannya memang bagus. Tentang aktivitasnya sebagai pemandu wisata yang menceritakan Taman Nasional Bromo.
Aku langsung minder membaca tulisan Bu Yoni. Tapi.. tapi.. sebetulnya tulisanku tidak kurang bagus. Hanya saja, aku langsung seperti punya feeling naskah Bu Yoni itu bakal menang. Jadi salah satu juara.
Esaiku sendiri.. sangat berbeda dibanding punya Bu Yoni. Bedanya apa? Tunggu ya..
Setelah tulisan Bu Yoni, giliran karya Clarice (aku lupa nama belakangnya), siswi SMA di Mojokerto. Tulisannya bercerita tentang wisata berlatar warisan sejarah Majapahit.
Aku juga punya firasat yang sama seperti ketika membaca Bu Yoni. Naskah Clarice ini bakal juara juga.
Aku langsung paham apa bedanya naskahku dengan kedua naskah yang dibagikan di grup WA itu. Yap! Yang sebetulnya dicari adalah tulisan perjalanan wisata. Bukan esai seperti yang kutulis. Apalagi esai kebudayaan yang jadi referensiku selama menulis sebelum submit naskah pertama.
Jadi kurasa, tidak tepat kalau kompetisi ini berjudul kompetisi menulis esai. Lalu, aku teringat lagi status WA Mbak Tias ketika masa pendaftaran kompetisi ILPN Provinsi Banten. Sebagai ketua juri, Mbak Tias begitu detail memberikan petunjuk di status WA-nya, tentang ketentuan naskah yang dilombakan (tempat wisata di Banten, harga tiket masuk, cara menjangkau lokasi wisata, keunikan dan keindahan objek wisata yang membedakannya dari tempat lain, dst.)
Hm.. yah, begitulah.
Meski aku kecewa tidak jadi juara, apalagi uang saku transportasi hanya seratus ribu dari penyelenggara, yang sangat tidak cukup untuk perjalanan luar kota (pergi-pulang), toh aku tetap menghadiri undangan perayaan puncak gebyar literasi yang bertepatan dengan hari jadi Provinsi Jatim, Selasa 8 Oktober 2024.
Segala lomba berkaitan dengan literasi, tingkat provinsi, semua penganugerahannya di acara ini. Ada hiburan juga berupa permainan angklung oleh siswa difabel dari salah satu sekolah (aku lupa sekolah mana, nanti deh kapan kuedit post ini, setelah kubaca lagi rundown acaranya.) Ada tarian juga, tak? Lupa π¬
Yang paling berkesan untukku ya ketika aku dan teman-teman menerima piagam dari pejabat daerah.
Setelah itu, aku dan Ima melihat-lihat bazar buku yang diikuti oleh penerbit anggota Ikapi Jatim. Selain buku, produk UMKM juga dipasarkan di acara ini.
Di panggung utama, ada juga penampilan puisi dan musik dari seniman lokal dan mahasiswa. Bincang literasi menghadirkan penulis buku Hati Suhita dan menceritakan proses kreatif penulisan bukunya hingga diadaptasi ke dalam film.
Eh, ada Bu Dr. Umi Kulsum, kepala Balai Bahasa Jatim, di perayaan Gebyar Literasi. Minta foto dong, biar ketularan aura orang besar. (Photo courtesy: Imawati Z) |
Aku hadir dan reuni lagi dengan bestie Ima, juga teman lain (Dwi Ariana Irawati dan Madihah). Kami pulang membawa piagam penghargaan yang ditandatangani PJ Gubernur Jatim Adhy Karyono.
(Mega tidak hadir, barangkali sedang sibuk menyiapkan diri untuk menghadiri undangan sebagai emerging writer di Ubud Writers and Readers Festival.)
Praktik menulis lontar (ron tal), dengan alat serupa pisau runcing dan tinta dari minyak kemiri sangrai tumbuk |
Dan mampir warung bakso Pak Sabar di jalan Raya Manyar sebelum berpisah.
Kami semua tentu menanti-nanti peluncuran buku kumpulan tulisan hasil kompetisi ILPN ini. Buku ini nanti adalah karya pertamaku yang diterbitkan Perpusnas Press.
Comments
Post a Comment
Thank you for visiting π» I'd love to hear your thoughts here